Freedom: Romantisme 1998

NAMA: MADE MAENITA DEWI 

NIM: 12210052

KELOMPOK: 10

Freedom: Romantisme 1998

Jakarta, 6 Mei 1998, Pukul 16.17 WIB.

Rupiah bergerak sempoyongan, mencapai angka yang tinggi. Sementara Bursa Efek bersujud sampai titik terendah. Orang kaya tak lagi kaya dan orang miskin semakin melarat. Juni 1997, nilai tukar rupiah bak anak rumahan, teratur dan adem ayem saja. Namun sekarang, Indonesia tidak lagi sehat. Indonesia sedang krisis, kita harus bertindak. Mahasiswa di beberapa daerah mengambil langkah dan sepakat untuk melakukan demosntrasi gabungan.

“Ini akibat efek bola salju krisis moneter Asia” Ucap si gondrong ditengah hiruk pikuk peserta rapat.

“Soeharto tirani, turunkan” ucap mahasiswa berperawakan Arab dengan suara lantang.

“Katanya ini negara demokrasi, tapi hak kita bersuara dibungkam dengan undang-undang itu” sarkas seorang pemuda yang berlogatkan sumatera.

Beberapa senat mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik Indonesia (STTI) sedang berkumpul, membicarakan masalah Indonesia yang sedang sakit parah. Terutama dalam hal segi moneter, nilai tukar rupiah yang terus melambung tinggi. Disini, Aku hanya pengamat. Aku tak terlalu menyukai kegiatan ini. Namun kawanku, Burhan mengajakku untuk menjadi bagian dari senat mahasiswa. Awalnya aku menolak, tapi dia bersikeras jika aku menjadi senat maka aku akan bakalan pouler seperti bang Rio, bang Anton dan senior lainnya. Mereka adalah panutan setiap orang dikampusku. Mereka merupakan penyambung lidah mahasiswa dengan rektor bahkan antar warga negara dengan rezim pemerintahan


Di luar kampus aku lihat masyarakat tak lagi percaya dengan soeharto, pribumi menjajah negeri negeri sendiri. Perilaku manusia lebih hina daripada binatang. Tak ada lagi kepercayan satu sama lain. Etnosentrisme, memusuhi etnis lain dan menganggap etnis sendiri lebih mulia. Chinese, adalah etnis yang menjadi sasaran dari amukan pribumi. Pembakaran rumah warga Tiongha menjadi pemadangan yang biasa. Rumahnya dijajaki, anak gadisnya diperkosa, bapaknya dibunuh dan ibunya dilecehkan. Hukum tak lagi berlaku, orang kulit putih, mata sipit adalah musuh nomor satu.

Harga barang dan kebutuhan pokok naik menjadi berkali-kali lipat. Rupiah terus menurun, bahkan gunting mata uang telah dilakukan sebelumnya tapi tetap saja tak ada perubahan. Gulung tikar menjadi solusi dari para pedagang yang tak mampu melunasi hutangnya. Pengusaha asing menarik semua sahamnya, pengusaha Indonesia telah bangrut. Indonesia sendiripun juga telah bangkrut.

“Rupiah seperti bermain perosotan” ucap seorang perempuan.

“Kita harus mendesak Soeharto”

Polisi tak lagi menjadi mengayom masyarakat. Polisi menjadi musuh masyarakat. Masyarakat ditembaki. Indonesia tak punya apa-apa lagi. Indonesia tak dapat bergerak. Cicilan utang harus dibayar, bunganya bertambah banyak. Indonesia tidak lagi sehat. Indonesia benar-benar tidak sehat.

“Kapan kita Aksi?” tanyaku to the point.

“Besok” jawab salah satu kawanku yang berkepala pelontos. Saat itu jamannya memiliki rambut gondrong, namun si kepala plontos mengatakan bahwa itu ciri khasnya, setiap orang harus memiliki ciri sendiri. Berbeda dari orang ain adalah baik, daripada sama namun tak pernah menjadi yang terbaik.

“Jangan, kita perlu persiapan” komentar salah seorang mahasiswa populer dikalangan mahasiswi trisakti saat itu. Namanya Arga, dia sosok tampan dan penuh dengan wibawa. Kepintarannya berorasi telah banyak mendatangkan hasil bagi mahasiswa di kampus. Sehingga beliau dikagumi oleh para mahasiswi saat itu.


“perhatikan tanggal yang baik, dan waktu yang baik. Kita harus persiapkan dengan matang. Jangan terburu-buru” kataku kepada mereka.

Burhan mengajungkan jarinya ke atas, pertanda dia mau mengucapkan sesuatu.

“12 Mei” ucapnya. “jumat, hari yang baik”

“setuju. Kita bisa mempersiapkan segalanya dalam beberapa hari ini” ucap sang pria populer. Namanya Rinto. Rinto adalah temanku. Dia baik. Dia tampan. Dan, dia populer. Satu hal yang membuat perempuan tergila-gila olehnya, gombalannya. Dia pandai sekali dalam hal bujuk membujuk.

“iya, saya setuju dengan Rinto. Yang lain bagaimana?” tanyaku. “Setuju, Merdeka” teriak yang lainnya.

PUKUL 19.34 WIB

Teleponku berdering. Seperti biasa yanti pacarku menelponku. “Malam Yan”

“Malam”

Dia menhembuskan nafasnya dibalik telepon. Suaranya begitu syahdu ketika mengucapkan salam. Aku terlalu mencintainya.

“Ran, kamu tadi rapat senat ya?”. Dia tidak menyukaiku bergabung dengan senat mahasiswa. Katanya, itu tak penting hanya buang waktu saja.

“iya, 12 Mei aku aksi ya”

“Ran, tolong dengarkan aku. Bahaya ran, polisi tak lagi mengayomi, mahasiswa adalah musuh pemerintah. Aku takut kamu kenapa-kenapa.” Yanti terdengar tak bercanda. Yanti memang tak pernah bercanda mengenai aksi dan demo, terlebih semenjak akhir tahun 1997, saat Indonesia tak lagi seperti Indonesia.

“Tapi aku mahasiswa yan, aku yang harus berjuang. Demi tanah airku. Demi bumi pertiwi”


“Percayalah, aku punya firasat yang tak baik Ran. Jangan ikut ya?”

Aku tak menghiraukan dia. Aku tetap ikut. Ini adalah tanggung jawabku. Aku mahasiswa. Masa depan bangsa ditangan mahasiswa.

Mendengar aku bersikeras dan tidak mau menuruti kehendaknya, dia memutus telepon begitu saja. tanpa salam ataupun ucapan sayang yang biasa dia ucapkan. Aku tak lagi heran melihat tingkahnya, kadang dia bersikap kekanak- kanakan. Bukan berarti dia tidak dewasa. Kadang pula dia bisa bersikap dewasa. Itu yang aku suka darinya. Pandai menempatkan posisi.

Aku pikir, cinta tak selalu menuruti kehendak. Kadang kita berhak menentukan hidup kita sendiri. Aku bukanlah orang yang keras kepala namun Yanti terlalu mengekang apabila aku berurusan dengan senat.

Yanti adalah keturunan tiongha, walaupun ibunya adalah warga negara indonesia. namun, sidikit kebencian pasti tertanam dalam dirinya kepada indonesia. ayahnya meninggal. Dibunuh oleh pribumi, ceritanya. saat itu ayahnya sedang mengendarai mobil. Ayahnya membawa setumpuk pakaian untuk disumbangkan kepada rakyat yang menderita. Karena mungkin kebencian pribumi telah mengakar kepada etnis tiongha, ayahnya diserang. Perutnya ditusuk dengan pisau dan buluh bambu runcing. Kata penyidik, tusukan yang ditemukan di tubuh ayahnya adalah 18 tusukan, diwajahnya, ditanganya, kaki, serta perut. Katanya, mungkin lebih dari 20 orang yang melakukannya. Ibu yanti pernah melaporkan pelakunya, namun bukan keadilan yang dia terima melainkan caci maki karena membela etnis tiongha.

Yanti melarangku bukan karena benci Indonesia. Dia ikhlas ayahnya pergi dan dijemput tuhan. Namun dia terlalu menyayangiku. Pernah sekali dia berkata, dia tak ingin kehilanganku. Dia takut jika aku harus berhadapan dengan pasukan sipil yang disenjatai itu.

Jakarta, 8 Mei 1998

Mata uang rupiah mencapai angka 8000 per dolar amerika serikat. Warung- warung telah tutup, begitupun pengusaha besar, dia telah bangrut. Ayahku tak lagi punya uang untuk menyekolahkanku. Dia menyuruku balik kekampung dengan


uang yang dia kirim. Katanya, itu uang terakhir. Uang itu hanya berjumlah Rp.20.000. Jumlahnya sangat banyak, namun krisis moneter menyebabkannya tak bernilai lagi. Saat itu ongkos balik ke kampungku disumatera adalah Rp. 50.000, sopirnya tak mau ditawar, padahal dihari biasa ongkosnya Cuma Rp.15.000. Aku bingung. Uangku untuk pulang tidaklah mencukupi. Bertahan di Jakarta pun aku tak sanggup. Uang ku tak mencukupi.

Aku buka handphone-ku. Aku cari kontak yana, siapa tau dia punya kenalan sopir bus yang mau nego. Yana adalah temanku, dia keturunan tiongha asli. Rumahnya dipagari besi dan dijaga oleh polisi bayaran agar tidak dijarah oleh pribumi.

“Assalamualaikum yan” “Waalaikumussalam”

“Yan, hari ini aku dikirimi ayah uang. Katanya ini uang terakhir. Aku disuruh balik. Kamu ada kenalan sopir”

“Ran, tak usah balik. Tinggal saja kamu dirumahku.” “Aku tak bisa kuliah, ayahku tak sanggup membiayaiku”

“Aku juga tak kuliah” ucapnya. “aku tak berani keluar rumah, aku takut” tambahnya. “lebih parahmana?” tanyanya

Aku terdiam. Kata-katanya mensaratkan penderitaannya. “baik, terima kasih yan” ucapku pasrah.

Jakarta, 11 Mei 1998

Sehari sebelum demonstrasi mahasiswa, aku dan mahasiswa lainnya sedang mempersiapkan keperluan dan perlengkapan. Yanti terus saja merengek kepadaku. Dia melarangku pergi. Sudah 19 kali dering teleponku berbunyi, dan puluhan sms yang dia kirimkan pada. Isinya hanya larangan untuk tidak mengikuti aksi.

“Jangan ikut ya ran” ucapnya.


“Aku harus ikut yan”

“Kalau gitu, aku ikut juga” ucapnya memaksa.

Awalnya aku tak ingin dia ikut denganku. Namun dia bersikeras untuk ikut. Dia tak ingin kehilanganku katanya. Dia berjanji akan selalu dibelakangku apapun keadaan saat demo. Aku percaya padanya, jika aku tau yang akan terjadinya selanjutnya, aku ingin tidak mempercayai yanti saat itu.

Jakarta, 12 Mei 1998

Aku dan kawan-kawanku, Burhan, Tio, Rinto dan lainnya berkumpul dikampus.kami memakai almamater. Aku telah membawa bendera merah putih. Aku ikatkan ke leher. Sementara yanti seperti janjinya tetap berada dibelakangku.

“Pulang aja yuk ran” ajaknya.

Aku tak hiraukan dia. Dia sedikit cemberut. Begitu manis dia saat itu. Harusnya aku melihat cemberutnya lebih lama jika aku tau itu adalah saat terakhir kalinya aku melihatnya. Kami mulai bergerak ke kantor DPR. Yanti seperti anak kecil, masih saja dibelakangku, mengikuti kemana aku pergi.

Awalnya, Demonstrasi berjalan dengan lancar, tanpa ada tanpa ada kekerasan. Sampai saat seorang berjubah hitam melempar batu ke dalam gedung. Gedung itu dipagari, namun batu itu tepat mengenai jendela gedung. Jendelanya pecah. Hal tersebut memicu amarah dewan legislatif saat itu. Nampak muka mereka merah padam, namun etika dan wibawa harus mereka jaga.

Harusnya aku bisa membaca situasi, itu bukan lemparan pertama dan terakhir. Ada lembaran-lembaran berikutnya. Sekian detik berlalu, demonstrasi semakin anarkis. Gas air ata di lemparkan polisi. Aku terus memgangi tangan yanti. Sampai seseorang memakai jaket merah menariknya. Meneriakinya kaum chines. Menghinanya dan memukulnya. Aku mencoba mengejarnya, namun ada yang menahanku. Aku lihat itu adalah burhan, temanku.

“Aku harus menolong yanti, Han” teriakku dengan marah


“Mereka anarkis. Kau bisa celaka” ucapnya

Tak lama setelah itu, terdengar dentuman peluru dibalik gedung tersebut. Semua mahasiswa berlarian berhambur menjauhi gedung. Berusaha tidak tersunggur atapun menginjak bekas api, Ban mobil bekas yang dibakar. Rinto temanku tersungkur disampingku. Aku kira dia terjerempat lalu terjatuh. Punggungnya mengeluarkan darah. Aku menyadari, bahwa rinto ditembak aparat.

Burhan menarikku. “apa yang kau lakukan?”

“Kita tidak boleh meninggalkan dia”

“Dia ditempak didada, dan tidak akan selamat” ucap Burhan. “Lebih baik kau lari” tambahnya lalu menarik lenganku.

Yanti tak ada lagi dipikiranku. Aku dan nyawaku saja aku tak memikirkannya. Dentuman peluru masih saja terdengar. Aku terus berlari dan berlari ke sebuah hutan kecil yang aku pikir tak jauh dari tempat demonstrasi. Baru aku sadar setelah demonstrasi usai, ternyata hutan itu terlalu jauh. Aku bersembunyi disana.

Aku terkejut melihat seonggok mayat perempuan. Memakai baju putih tampak persis dengan baju kelompok aksi kami. Aku dan burhan mendekatinya. kami tak percaya apa yang kami lihat saat itu. Dia adalah yanti. Orang yang sangat aku cintai. Bajunya sudah compang camping. Wajahnya penuh irisan senjata tajam. Rambutnya hitamnya telah berbalur lumpur. Kulit halusnya telah disayat dan mata indahnya tertutup sempurna. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingin segera membawa kekasihku itu ke rumah sakit. Burhan melarangku Katanya “tunggu sampai keadaan membaik”. Aku tak lagi tau harus bagaimana sampai ketika yanti tak lagi bernafas.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Covid-19 Memaksa “Melek” Teknologi

PENGARUH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DIGITAL TERHADAP PERGESERAN MORAL GENERASI MUDA

DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI TERHADAP AKTIVITAS PENDIDIKAN