DEMO KERAS BUKAN DEMOKRASI

Nama:  ZEFANYA ANDRIY SHEVCHENCO DIRENO  NIM : 42330031


DEMO KERAS BUKAN DEMOKRASI

Pada dasarnya cerita ini hanya sekadar ku ceritakan kepada cucu cucuku ketika mereka mengunjungiku di malam natal. Tapi setelah mendengar cerita yang ku ceritakan kepada mereka, mereka menyuruhku untuk menulisnya menjadi sebuah kisah yang mungkin bisa menjadi pembelajaran bagi orang di luar sana .

Tak terasa sudah 43 tahun sejak tragedi mengerikan tersebut terjadi di hidupku, beberapa hal mungkin sudah terlupakan mengingat usiaku yang sudah lansia, tapi tak sedikit pula yang masih ku ingat tentang hari itu. Cerita ini kutulis supaya menyadarkan kita apa itu persatuan dan bagaimana harusnya kita mewujudkan itu. Aku juga tak lupa untuk pembaca tulisanku bahwasanya aku meminta maaf bila terdapat kata kasar dalam kisah ini, maklum pada masa itu jiwa kami masih muda membara. Baiklah, ku rasa kata pengantarnya sudah cukup panjang, supaya kalian tidak mengantuk mari ku ceritakan kisah ini pada kalian semua.

2034

Namaku asliku Putra Zaki, tapi kawan kawanku banyak memanggil diriku dengan sebutan Jack, katanya biar lebih sangar dan terdengar laki jika di sebut oleh orang. Aku adalah lulusan salah satu kampus swasta daerah Jakarta barat, di kisah yang kuceritakan ini aku menyebut kampusku dengan sebutan kampusku untuk menghindari hal yang tidak diinginkan jika kusebut nama asli kampus tersebut. Pada saat itu aku masih menjadi mahasiswa semester 5 di kampus tersebut. Kisah ini terjadi di pertengahan tahun 2034, situasi dunia sangat kacau, pandemi yang hilang 12 tahun lalu, muncul kembali di tahun itu. Tak tanggung tanggung masalah yang di alami negaraku bukan sekadar itu saja. Kenaikan BBM, harga pangan, dan inflasi dimana mana membuat rakyat menjadi marah kepada pemerintah kami.

“Harga BBM naik tinggi disebabkan faktor inflasi yang kian meningkat selama beberapa bulan terakhir, sebab dari itu banyak rakyat turun ke jalan untuk berdemo kepada pemerintah di pusat kota.” Kata reporter TV salah satu stasiun TV swasta

Aku bersama tiga kawanku, Asep, Ahmad, dan Subarjo pada saat itu berada di salah satu warteg di dekat kampusku menonton TV yang menayangkan berita itu.

“Ngab, tu liat beritanya.” Ucapku pada ketiga kawanku yang duduk disebelahku. “Basi jack, tahun ketahun juga gitu gitu doang yang gue denger” Ucap Asep padaku.


“ Dari zaman bokap gua sama bokap lu masih ngampus juga masalahnya gitu gitu aje jack” Sahut ahmad merespon kata kataku.

Di saat kami berempat asik menonton berita tersebut, pak Urip, suami bu Ayu pemilik warteg bertanya kepada kami berempat.

“Oi lu pada!” Kata sambutan yang dari pak Urip yang membuat kami berempat berpaling dari berita tersebut.

“Naon pak?” Kata Asep kepada pak Urip.

“Lu pada kagak ikut turun kejalan? Masa iya lu pada yang masih muda kagak ada inisiatif turun kejalan buat demo bareng sama orang orang itu” Kata pak Urip kepada kami berempat.

Kata kata tersebut membuat kami berempat hening sejenak mencerna kembali perkataan pak Urip.

“Di pikir pikir iya juga ya, mahasiswa gak ada gerakan demo gitu? Tanyaku kepada tiga kawanku.

“Kagak tau dah, coba nanti gue tanya ke anak anak” Kata Subarjo padaku.

Setelah menghabiskan satu batang rokok di warteg bu Ayu kami berempat pun balik kekampus untuk melanjutkan kelas kuliah pada siang itu.

SEMINGGU SEBELUM MAJU!

Hari itu adalah hari sabtu, pada saat itu suasana kampus sangat ramai dikarenakan ada kegiatan BEM-PM di kampusku. Hari itu aku dengan Asep mencoba berjalan mendekati kumpulan mahasiswa yang sedang berkumpul di Hall Center kampusku.

“Jack, naon eta? Tanya Asep padaku dengan bahasa Sunda yang artinya “Apa itu?”.

“Gak tau gua sep, sok kesana, penasaran juga gua” Jawabku pada Asep.

Setelah aku dan Asep bergabung dengan kumpulan mahasiswa tersebut dari kejauhan datang beberapa mahasiswa memberikan orasi kepada mahasiswa dikampusku tentang hal yang terjadi di negara Indonesia saat ini dan juga ajakan berdemo 4 atau 6 hari kedepan di depan Istana Negara.


“4 atau 6 hari lagi, kita semua akan akan turun kejalan lagi! Menyuarakan suara rakyat yang selama bertahun tahun hanya di dengarkan tapi tidak dilaksanakan!” Ucap seorang mahasiswa kepada kami semua yang ada di Hall Center kampus.

Setelah mendengar ajakan berdemo tersebut aku dan Asep menunggu Ahmad dan Subarjo yang kebetulan hari itu kami berempat tidak dalam mata kuliah yang sama sehingga kami berempat berpisah sementara untuk menyelesaikan kelas masing masing.

Kurang lebih 30 menit kami menunggu kedatangan Ahmad dan Subarjo dikantin hingga saat mereka sampai dikantin dan duduk dikursi bersama kami, Asep menceritakan ajakan demo tersebut kepada Ahmad dan Subarjo.

“Oi mad su” Ucap Asep kepada Ahmad dan Subarjo.

“Opo su?” Balas Ahmad kepada Asep.

“Minggu depan ada demo di istana, gas gak?” Lanjut Asep kepada mereka berdua.

“Serius kau sep? Dapat info dari mana lu?” Tanya Subarjo pada Asep.

“Tadi senior pada ngajakin demo 4 atau enam hari lagi” Jawabku pada pertanyaan Subarjo.

“Gaslah kalau gua mah, dah lama kagak turun kejalan, terakhir sebelum kuliahkali ya? Hahaha” Kata Subarjo dengan semangat kepada kami semua.

Sekadar info aja, Subarjo dan aku adalah lulusan STM daerah Bojong Gede yang terkenal sering tawuran antar pelajar. Kami satu sekolah dan dengan sengaja bersatu kembali di dunia perkuliahan.

“Lu ikut gak mad? Lanjut Subarjo kepada Ahmad.

“Gua ngikut lu pada aja cuy” Jawab Ahmad kepada Subarjo.

“Mantap! Nanti info aja sep kalau waktu pastinya ke gua” Lanjut Subarjo kepada Asep. “Siap Ndan!” Jawab Asep pada Subarjo.

Sesudah berbincang sebentar dan makan dikantin kamipun berpisah kembali kerumah masing masing untuk melanjutkan kegiatan kami masing masing.


SEHARI SEBELUM MAJU!

Hari itu adalah hari kamis, cuaca jakarta mendung hari itu. Aku dan ketiga kawanku berjalan menuju Hall Center untuk mendengar kelanjutan dari ajakan berdemo beberapa hari lalu. Suasana kampus hari itu sangat ramai padahal cuaca sedang tidak mendukung untuk datang ke kampus. Kami bertiga pun merokok sambil menunggu kedatangan senior yang beberapa hari lalu mengajak kami berdemo.

Setelah beberapa menit menunggu, senior yang kemarin berorasi pun muncul bersama dengan pasukannya.

“Semangat pagi wahai pejuang rakyat!” Sambut senior kepada semua mahasiswa yang hadi lr hari itu.

“Pagi, pagi, pagi!” Teriak mahasiswa menyambut senior di depan.

“Besok adalah harinya! Saya harap kita semua bisa turun menyuarakan apa yang harusnya disuarakan!” Kaata semangat senior kepada mahasiswa yang hadir hari itu.

“Siap! Gas! Maju!” Teriak mahasiswa sebagai semangat akan hari esok.

Malam harinya setelah pengumuman bahwa demo akan dilaksanakan besok, aku dan ketiga kawanku nongkrong di warteg Bu Ayu membahas hari esok.

“Ga sabar banget gua anjing!” Ucap Subarjo kepada kami bertiga yang juga didengar Pak Urip yang juga ada disebelah kami berempat.

“Apaan lu cah anjing anjingan?” Tanya Pak Urip pada Subarjo karena kaget mendengar kata Subarjo.

“Besok mahasiswa kampusku pada turun pak urip” Jawabku pada Pak Urip “Turun paan?” Sambung Pak Urip yang masih bingung dengan jawabanku.

“Demo pak, besok mahasiswa pada demo usut kenaikan bbm sama kenaikan pangan yang gak ngotak tiap tahunnya” Jawab Ahmad menjelaskan pada Pak Urip.

“Oalah kirain apaan turun turun jack, yaudah pesan gua ke lu pada mah hati hati aja, demo boleh, anarkis jangan ye! Awas lu aneh aneh besok!” Kata Pak Urip kepada kami berempat.

“Siap pak, doain semoga lancar lancar besok” Lanjut Asep.


“Amin” Doa Pak Urip pada kami.

Sejam setelah pembicaraan tersebut, kami beresmpat berpisah untuk kembali beristirahat ke rumah masing masing guna bangun dalam keadaan sehat besok hari.

MAJU!

Hari itu adalah hari jumat, cuaca masih mendung sama seperti kemarin. Permakluman masih kuberikan kepada alam, mengingat hari sudah memasuki akhir tahun dan sudah seharusnya musim hujan di daerah Jakarta. Seperti biasa aku dan ketiga kawanku berjalan bersama menuju titik kumpul para mahasiswa akan berdemo menuju istana negara.

“Cuk, aku gangerti sama sekali nanti ngapain hahaha” Kata Ahmad padaku.

“Udah mad, ngikut senior aja, yang penting lu jangan ngerusuh aja” Jawabku pada Ahmad.

Setelah sampai pada titik kumpul, aku terkejut melihat banyaknya pendemo hari itu. Ya, ternyata yang kukira selama ini hanya mahasiswa kampusku saja yang turun ke jalan ternyata salah besar. Ada ribuan orang yang sudah berkumpul dan bergabung bersama kampusku hari itu. Setelah bertanya pada demonstran lain, aku mendapat info kalau hampir seluruh mahasiswa dikampus Jakarta ikut turun ke jalan berdemo didepan Istana Negara. Aku dan ketiga kawanku terdiam melihat banyaknya demonstran yang sudah berkumpul untuk berdemo di Istana hari itu. Setelah sejam kami beristirahat, kamipun mendapat aba aba untuk berjalan memulai aksi demo menuju Istana dari demonstran yang lain.

Saat itu kondisi bisa kukatakan masih kondusif sebagaimana yang harusnya para demonstran lakukan. Kami pun berjalan menyusuri Jalan Veteran dekat Istana Negara yang dimana kami melakukan aksi demo hari itu. Siang itu cuaca masih mendung yang membuat suasana tidak panas dan tentu saja membuat kami tidak hilang semangat menyuarakan suara kami di dekat Istana Negara. Sekadar info lagi, kami tidak berdemo di depan Istana Negara, tetapi kurang lebih 200 Meter menuju Istana, di karenakan Istana Sudah dikawal oleh ratusan polisi, bahkan jalan disekitar Istana pun sudah dialihkan karena demo yang dilakukan ribuan mahasiswa pada hari itu.

Jam menunjukkan pukul 12.00 WIB, hujan sudah mulai turun deras membasahi ribuan mahasiswa yang berdemo. Aku dan ketiga kawanku sebenarnya ingin pulang duluan, tapi mengingat kami berada ditengah ribuan orang, yang tentu saja jalan untuk keluar barisan sangat


susah, kami berempat pun memutuskan bertahan sebentar. Pukul 12.45 WIB belum ada tanggapan dari pemerintah, kami sudah berada kurang lebih 5 jam didekat Istana Negara, tetapi sama sekali tidak ada respon dari pemerintah mengenai demo itu.

Justru polisilah yang memberikan respon pertama kepada mahasiswa, kalian tahu apa yang polisi katakan kepada mahasiswa yang berdemo? Ya! Polisi hanya menyuruh kita bubar dan menyudahi aksi demo hari itu. Kami pun tidak bubar begitu saja, karena kalau kami bubar gitu saja, buat apa kami berdemo dari pagi hingga siang ini jika tidak ada hasil atau tanggapan dari pemerintah?. Kami pun lanjut berdemo hingga pukul 13.30 WIB pada momen itulah sekumpulan orang, entah dari mana datangnya, akupun tidak tahu apakah mereka mahasiswa atau bukan, mereka berteriak kepada mahasiswa yang berdemo hari itu.

“Maju! Kalau gini doang sampai besok pun gak ada hasilnya, MAJU!” Teriak salah satu orang kepada mahasiswa yang berdemo hari itu.

Entah apa yang ada di pikiran mahasiswa hari itu, mungkin karena kelelahan dan muak dengan pemerintah yang tidak menunjukkan respon kepada para demonstran, banyak mahasiswa terutama di baris terdepan yang ikut menabrak blokade polisi di Istana Negara. Suasana yang sebelumnya kondusif tiba tiba berubah menjadi heboh pada hari itu. Hujan yang turun siang hari itu juga menambah semangat demonstran yang berusaha merusak blokade yang dibuat polisi.

MUNDUR! BUBAR!

Aksi itu pun menuai respon polisi yang langsung melempar gas air mata kepada demonstran. Tidak banyak mahasiswa yang bubar saat itu, bahkan kerusuhan semakin membesar di Jalan Veteran hari itu. Banyak orang yang berusaha mencoba menembus blokade polisi, tetapi polisi pun tidak tinggal diam. Polisi juga berusaha memukul mundur para demonstran yang berbuat anarkis dengan merusak kendaraan dan beberapa bangun di sekitar Jalan Veteran.

“Bubar! Bubar! Bubar!” Teriak polisi kepada demonstran.

“Maju lo sini anjing! Berjam jam gua nungguin buat dengerin respon pemerintah! Bukan buat di bubarin gas air mata, Setan!” Balas demonstran kepada polisi.


Keaadaan semakin tidak kondusif, Jalan Veteran berubah menjadi jalan pertempuran antara mahasiswa dan polisi hari itu, hingga beberapa saat kemudian dari kejauhan tampak 10 mobil Water Cannon milik brimob dateng untuk membubarkan kumpulan demonstran.

“Mundur woi! Mundur!” Teriak seorang demonstran kepada demonstran lainnya.

Pada kondisi itu aku dan ketiga kawanku sudah bubar karena kondisi yang membuat kita berpencar berusaha meninggalkan Jalan Veteran yang saat itu sudah menjadi Jalan Tengah buat bertempur antara demonstran dan aparat kepolisian.

Setelah berusaha lari menghindari gas air mata, akupun berusaha menjauh menghindari Mobil Water Cannon brimob. Saat itu, dari kejauhan aku melihat banyak demonstran yang di tembak air Water Cannon. Ya, aku bilang ditembak air Water Cannon, karena rasanya ditembak menggunakan air mobil itu lebih sakit dibandingkan menerobos hujan deras tanpa helm. Pada hari itu banyak demonstran yang ku lihat terjatuh di jalan dan entah bagaimana keadaan demonstran tersebut.

Akupun berhasil meninggalkan Jalan Veteran siang hari itu bersama ratusan demonstran lainnya. Saat itu tidak ada terpikirkan dalam akalku untuk mencari ketiga kawanku, karena saat itu aku dalam kondisi panik juga sama seperti yang lain. Aku menunggu ketiga kawanku hingga pukul 15.00 WIB, berharap mereka selamat dari aksi rusuh hari itu. Tetapi setengah jam berlalu, mereka bertiga tak kunjung sampai di titik kumpul tempatku menunggu mereka. Hingga kupikir mungkin mereka sama paniknya dengan aku dan memilih untuk langsung pulang untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.

SEHARI SESUDAH MUNDUR!

Pukul 17.00 WIB aku sudah sampai di rumah untuk beristirahat dan mengucap syukur masih diberikan kesempatan untuk pulang hari itu. Rasa risau sebenarnya masih menyelimutiku malam hari itu, ya, risauku karena belum mendapat kabar dari ketiga kawanku yang semenjak aksi rusuh tersebut kami semua berpisah mencoba menyelamatkan diri masing masing.

Besok harinya, tepatnya hari sabtu, aku bangun dengan badan yang masih sehat dan bugar. Aku langsung menonton TV diruang tamu dan menonton berita tentang kejadian kemarin. Ya, aku menonton berita yang disiarkan dengan rasa takut yang menyelimuti diriku. Pada berita itu


mengikhlaskan kepergian Subarjo hari itu. Rasa rindu tentu saja masih ada dalam diriku pada Barjo, bahkan hingga 43 tahun setelah tragedi itu.

SETAHUN SETELAH MUNDUR! DAN HARI ESOKNYA...

Pada Tahun 2035 aku menonton berita di TV dan mendapati kabar bahwa hari itu Presiden memutuskan mundur dari jabatannya yang masih menyisakan 2 tahun masa jabatan. Jujur semenjak tragedi hari itu aku sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan pemerintahan negara. Aku berpikir untuk hidup biasa saja sebagaimana mestinya, tanpa memperhitungkan kondisi politik dinegaraku.

Pada Tahun 2035 juga aku lulus dari kampusku dan mendapat gelar Sarjana Hukum setelah 3 tahun setengah mencari ilmu di kampus yang masih kurahasiakan namanya ini.

Sekarang Usiaku sudah 63 tahun, dan aku masih menjadi dosen pendidikan pancasila di salah satu kampus daerah Bandung. Ya, aku sudah tua, mungkin setahun atau dua tahun lagi aku akan pensiun dari dunia perkampusan yang sudah ku jalani selama bertahun tahun.

TERUNTUK KAUM MUDA...

Di akhir ini aku ingin menyampaikan satu kalimat, ya tentu bukan dari diriku, tapi ku ambil dari salah satu orator terkenal di dunia semoga bisa membuka pikiran dan akal kalian dalam menegakkan negara yang maju kedepannya "Perdamaian, persatuan, cinta, dan anti kekerasan harus menjadi seruan kita dan katalis untuk perubahan di negara kita." - Tony Evans.

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Covid-19 Memaksa “Melek” Teknologi

PENGARUH PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DIGITAL TERHADAP PERGESERAN MORAL GENERASI MUDA

DAMPAK TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI TERHADAP AKTIVITAS PENDIDIKAN